Senin, 30 Mei 2011

Journey indonesian backpacker community


Mencicipi Secuil Keindahan WAKATOBI ..

 

       Setelah menyelesaikan hutangku berupa laporan kerja, segera aku meluncur ke Pelabuhan Murhum di Kota Bau-Bau. Di sana telah siap berangkat KM Aksar Saputra 01, kapal kayu khusus penumpang dengan bobot 170-an ton yang melayani rute Bau-Bau – Wakatobi. Kapal ini berangkat setiap hari, pukul 21.00 dan saat datang jam 8 malam, kapal sudah lumayan ramai dengan calon penumpang. Tiket segera kubeli, dan karena badanku lelah sekali sehabis work traveling dan merampungkan banyak pekerjaan, kupesan lah kamar. Kamar di sini berarti kita memperoleh kabin dengan dua sampai empat tempat tidur, sementara bila di kelas biasa juga memperoleh tempat tidur namun beralas kasur busa dilapis plastik dan tidur berjejeran seperti di kapal Pelni namun dengan dua susun atas – bawah. Pengenku, dengan memesan kamar aku bisa beristirahat dengan baik sehingga esoknya badan segar dan dapat explore Wakatobi dalam kondisi fit.
Pukul 20.45, penumpang sekamarku sudah berdatangan. Sapaan pertama dari mereka untukku adalah : ‘ Bapak dari kepolisian ya….?’. Waduh gubrak deh, belum apa-apa sudah divonis begini batinku. Maunya si jawab kalo saya orang baik-baik Paaak….., takut tersinggung. Ya udahlah, kujawab saja aku orang biasa, lagi jalan-jalan. Mbuhlah he he. Ternyata memang aku salah pilih tempat, karena transportasi satu-satunya sementara ini adalah kapal sehingga orang-orang ‘kelas atas’ pasti memilih kamar karena itu adalah fasilitas termewah yang ada. Tidak heran bila pembicaraan mereka di situ adalah kontrak kerja, pemborong, proyek, kepolisianlah… dan lain-lain yang nggak pengen kudengar, blah. Pukul 21.30 kapal pun berangkat meninggalkan Bau-Bau, menyusuri Buton Selatan dan selanjutnya berbelok ke timur menuju Kota Wanci.
Pukul 22.00, kapal sudah melewati daerah hunian penduduk pesisir sehingga digeber gak keru-keruan sama nakhodanya. Busyet, kenceng juga jalannya! Parahnya, getaran mesinnya ngalahin bajaj-bajaj yang beredar di Jakarta… sampai tidur pun serasa di atas stoomwalls he he.
Pukul 06.00 waktu setempat, dengan disambut view matahari terbit, kapal pun merapat ke Pelabuhan Panjang Kota Wanci sebagai ibukota Wakatobi. Wakatobi sendiri (dahulu sebelum menjadi kabupaten bernama Kep. Tukang Besi) kependekan dari nama pulau-pulau besar di sana; Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Bahkan orang lokal sendiripun suka terkecoh bahwa ‘Wa’ dari Wakatobi adalah Wanci, sampe sempat ‘ngeyel-ngeyelan’ dengan seorang pejabat instansi pemerintah saat bertemu di Bau-Bau sebelumnya. Tanpa membuang waktu, aku segera meluncur ke Pelabuhan Mola dengan ojek untuk mengejar speedboat yang menuju Kaledupa yang sekiranya berangkat pukul 10.00. Menghabiskan waktu dengan memutari Desa Mola yang dihuni rekan-rekan suku Wajo.
Rumah-rumah sederhana mereka dibangun di pinggir pantai di atas tumpukan batu karang yang disusun dan ditambahi pondasi kayu. Rumah Suku Wajo Mola ini sudah relatif modern, jalanan sudah apik dan rumah pun di cat berwarna-warni dan fasilitas seperti TV, parabola dan lain-lain tampak menghiasi rumah mereka. Dasar aslinya Suku Wajo, sambil sarapan aku melihat banyak anak kecil mendayung sampan dengan sebilah bambu 1 meteran yang dipotong jadi dayung di pinggir laut tenang. Sementara tampak di tepian, seorang anak belasan tahun menyelam membawa senjata tombak, mengincar ikan pinggir pantai bermodalkan kacamata bikinan lokal dan kemampuan berenang serta menyelam menahan nafas yang luar biasa untuk berburu ikan ?Balala.
Semangkuk mi instant rebus dan teh hangat manis menemaniku sarapan.
Kaget juga karena namanya mi instant rupanya hanya berupa sejenis indomie yang direndam dalam air panas dan langsung disajikan begitu saja. Busyet, jadi ingat saat dulu di Minas, Riau karena dahulu pernah dibuatkan mi oleh teman lokal di sana persis seperti di Mola. Karena lapar, habis juga mi itu dan aku menunggu waktu sambil menyeruput teh hangat. Wuih sedaaap…….. Eeeh, lagi enak-enaknya minum, ada orang yang tiba-tiba taruh dua piring kotor dan satu buah gelas satu meter di sampingku. Lebih edannya lagi, 2 menit kemudian ada yang taruh gelas kotor persis lagi di depanku. Gila kali ya! Tapi yah biarlah mungkin di sini dianggap biasa, lain lubuk lain ikannya. Tapi pikir-pikir lagi, mbok taruh barang yang mengganggu selera dan pandangan macam begitu ya jauh-jauhlah dikit, kenapa harus di mukaku sedangkan di situ ada ruangan 8 x 10 meter persegi?
Pukul 08.30 speedboat tiba dan berhubung sudah ramai penumpang segera aja ku masuk dan duduk di belakang. Di dalam, suara ibu-ibu riuh – rendah bercakap-cakap bahasa daerah mereka dengan suara audzubillah keras (kata lainnya : berisik! he he). Ah tapi sayang aku agak susah merogoh hape, pengennya kurekam dan kujadiin ringtone seperti dahulu saat naik Elf ke Blawan. Pastinya menarik dan unik! Untuk informasi, speedboat di Pelabuhan Mola ini melayani jurusan Kaledupa dan Tomia, selain jurusan Bacan dan Obi dengan kapal kayu yang jadwalnya agak susah dipegang. Speedboat di daerah ini luar biasa, aku sudah sering melihat speed yang dilengkapi 3 dan 4 engine namun di sini speed diperlengkapi 5 – 6 engine 40 pk. Tapi yah kukira agak wajar lah mengingat Wakatobi sendiri posisinya terbuka dan speed berkapasitas besar 50 orang sehingga perlu ‘ketangguhan’ untuk mengarungi ombak lautan yang ganas. Sekedar info saja, satu badan speed fiberglass seharga 280 juta dan satu buah engine 40 pk seharga 25 juta, jadi total jendral bisa 400-an juta rupiah tu harganya!
Pukul 09.45, speed mulai meluncur dengan kecepatan di atas rata-rata menembus angin timur yang sudah mulai bergejolak. Di dalam speed baru kutahu bahwa rutenya adalah Wajo Sama Bahari – Ambeua – Buranga – Langge dan terakhir bermalam di Lentea. Tanya punya tanya, untuk ke Hoga bisa sambung dari Wajo atau Ambeua. Aku juga sempat kenalan dengan mantan kades Langge, La Besi. Dari dia lah aku dikenalkan dengan La Dedi dan aku memutuskan menginap di kediamannya di Ambeua.
Rencana menginap di Hoga kubatalkan karena speed kembali ke Wanci esoknya pukul 06.00 dan hanya ada satu buah sedangkan aku hanya punya waktu mepet, dua hari untuk explore Wakatobi dan pasti tidak terkejar kembali ke Bau-Bau bila menginap di Hoga. Rencana untuk ke Tomia dan Binongko pun bubar karena speed hanya sehari sekali sehingga tidak mungkin terkejar kecuali sewa speedboat dengan harga 5 – 8 jutaan….nggak deeeh.., makasih aja….. Idealnya bila kita backpack dengan transportasi umum explore Wakatobi memerlukan waktu minimal satu minggu penuh, di luar waktu tempuh menuju ke sana tentunya.
Tiba di kediaman La Dedi di Ambeua pukul 11.00, rumah-rumah di sini tersusun apik dan bersih walau sebagian besar tidak memiliki tanah yang menutupi pekarangan selain pasir, batu karang dan genangan air laut. Namun, keelokan dan kerapian kota ini jauh mengalahkan kota kecamatan lain di Buton seperti Talaga, Mawasangka dll. Ternyata kediaman La Dedi ini yang letaknya persis di dekat pelabuhan sering digunakan oleh backpacker asing. Aku tahunya, dia berkata bahwa turis di sini ada yang menginap di Hoga namun ada yang memilih Kaledupa sehingga kuambil kesimpulan hanya yang ‘kere-kere’ sajalah yang tidak memilih resort Hoga yang paketnya minta ampun harganya..he he..
Sehabis makan siang, aku meluncur ke Hoga dengan kepompong (perahu bermesin dalam) bersama motorist Ruslan. Ruslan sendiri asli Bangka namun sudah lama di Ambeua, akunya dia sering mengantar tamu dari berbagai media nasional. Sebelum ke Hoga yang hanya berjarak 20 menit, aku memutari Kampung Wajo Sama Bahari atau Wajo Sampela, julukan mereka bagi orang-orang Kaledupa. Kampung ini dibangun di atas tumpukan batu karang, dijadikan perkampungan di tengah laut dangkal kira-kira kedalaman maksimal 6 meter. Di kampung ini sudah ada sekolah, rumah ibadah dan fasilitas desa lainnya. Dahulu, menurut cerita Ruslan, penduduk Wajo Sampela ini masih polos-polos belum tersentuh perkembangan zaman modern. Seperti cerita suku Dayak di Kalimantan, kaum wanitanya masih suka mandi dan berenang (maaf) polos tanpa pakaian dan tanpa rasa risih sedikitpun. Aaah, sepertinya aku ke sini terlambat 10 tahun deh…, he he….ups.
Tiba di Hoga, pantai pasir putihnya dengan pemandangan cemara dan kelapa menghiasi dengan indahnya. Aku kelilingi pantai di barat Hoga ini, menembus homestay milik penduduk yang disewakan. Jumlahnya banyak sekali, mungkin ada 200-an rumah kayu yang apik namun kurang terawat.
Sepertinya tempat ini disulap menjadi bersih dan ramai hanya di waktu kunjungan turis di bulan Juni dan Juli, selebihnya sepi sekali tempat ini. Air bersih tidak ada, hanya berupa sumur air payau dan air penyulingan yang masih berasa payau juga. Menunggu sore hari, aku menyempatkan cibang-cibung sendiri di pantainya yang putih dan bersih mirip dengan kenampakan fisik pasir pantai di Ujung Genteng yang halus. Di pinggir pantai ada bangunan besar, ‘Rumah Adat’ kata Ruslan, yang sebenarnya berupa hall besar dua tingkat dan di kanan bawah dihuni kantor Marine Research Station Wallacea. Pukul 15.00 aku segera meluncur balik karena bila air surut (leting-istilah lokal) maka perjalanan Hoga – Ambeua harus memutar jauh karena terumbunya muncul dan tidak mungkin dilewati oleh ketinting sekalipun. Hoga sendiri sebenarnya terkenal ke seantero dunia akan pemandangan bawah lautnya, bukan keindahan resort-nya. Berhubung aku ga pernah nyelam, jadi ga bisa menyaksikan keindahan Hoga secara utuh. Memang si kalo diving aku ga bisa alias nyerah pokoknya….., tapi kalo mountaineering, nah itu diaaa….. nggak kuat juga… he he…..
Tiba di Ambeua, aku segera mandi sore karena diajak oleh La Dedi menuju Desa Sombano sejauh 8 km untuk menyaksikan sunset. Wah, kebetulan ni…berhubung sunset di Ambeua sendiri agak terhalang ujung pulau. Naik motor berdua melewati jalanan desa, di kiri – kanan banyak kopra yang menjadi salah satu andalan daerah ini selain agar-agar yang lebih prospek tentunya. Sombano sendiri adalah desa nelayan di bagian barat Kaledupa sehingga pantainya menghadap langsung ke arah matahari terbenam. Di sini juga terdapat laguna Danau Sombano namun La Dedi tidak berani ke sana karena sudah lupa jalannya dan takut tersesat di hutan. Tapi tak apalah, sunset di Pantai Sombano ini sendiri sangatlah indah………keranjingan jeprat sana – sini sampai tak terasa habis sudah dua memory card. Kembali di rumah pukul 18.30, setelah mandi aku disuguhi lauk Perangi. Dibuat dari daging ikan mentah yang dirajang dan dicampur bawang merah, garam, jeruk dan sedikit vetsin, kulahap dengan nikmatnya dengan sayur dan sambal. Walaupun mentah, rasanya nggak terbilang enaknya sehingga habis tiga sendok penuh Perangi sebagai lauk.. Yah, sebenarnya lapar juga si jadi agak ‘kalap’
makannya….he he..
Pagi-pagi pukul 05.00 sudah siap menunggu speedboat di pelabuhan. Rasa kecewa sedikit muncul karena sunset saat itu penuh terhalang awan tebal…, akhirnya sambil nongkrong di atap speed, pukul 06.00 kutinggalkan Ambeua diiringi Here Without You-nya 3 Doors Down.
Kameraku sekali lagi menghajar Kampung Wajo Sama Bahari….., mumpung posisi strategis di atap nih. Tiba di Mola pukul 07.30, kulanjutkan perjalanan dengan ojek La Datu mengitari Pulau Wangi-wangi.
Tujuan pertama adalah Pantai Sousu Desa Matahora, sejauh 20 km dari Wanci. Pantai bersih dan sepi di hari biasa, dengan pemandangan pulau – pulau karang kecil serta Pulau Hoga yang tampak di kejauhan. Di daerah ini juga rencananya akan dibuka bandara Matahora – Wanci sebagai penghubung udara dengan Kendari dan Bau-Bau. Bila terwujud, pastilah kabupaten yang baru berumur 3 tahun ini akan semakin berkembang pesat. Sebentar di Sousu, aku meluncur lagi menyusuri pantai timur menuju Pantai Jodo. Pantai ini juga cukup apik, berukuran kecil namun memanjang dengan pulau karang di muka yang dapat dicapai saat air surut. Namun sayang, sebagian keindahan pantai sudah rusak oleh pengambilan pasir liar. Dua pantai terakhir yang kukunjungi adalah Molii Sahatu dan One Salibu, dan kututup dengan makan siang dan beristirahat menunggu kapal yang membawa menyebrang kembali ke Bau-Bau malam harinya.
Setelah nongkrong-nongkrong di Pelabuhan Panjang dari pukul 14.00 hingga 17.30, aku cari pengganjal perut di daerah itu dan kemudian pukul 19.30 sudah berada di atas kapal Uki Raya III. Kapal ini setipe dengan Aksar Saputra, dan malayani trayek yang sama. Kapal Aksar Saputra sendiri, ada yang melayani rute Wanci – Malaysia untuk mengangkut baju bekas atau RB istilah kerennya di sini. Sebagai info tambahan, speed yang melayani rute Wanci – Lasalimu sudah jarang atau boleh dibilang sudah tidak ada. Orang-orang lebih memilih rute tembak langsung Bau-Bau ketimbang harus menempuh lagi perjalanan darat Lasalimu – Bau-Bau yang kondisi jalannya minta ampun. Kapal Uki Raya berangkat pukul 21.20 dan seperti sudah kuduga sebelumnya, tiba di Bau-Bau lebih awal sekitar pukul 05.00. Ini akibat dorongan angin timur yang mempercepat jalannya kapal. Dari pelabuhan, aku langsung naik ke ojek dan tewas di mess mengakhiri lelahnya penat di badan.
Namun tekad di benakku, suatu saat, Wakatobi ku akan kembali !
SALAM
- Kapal Penumpang Bau-Bau – Wanci 100.000 kamar/80.000 ekonomi
- Ojek Pelabuhan Panjang – Mola 5.000/nego
- Mi rebus dan es teh di Mola 3.000
- Speedboat Mola – Kaledupa 35.000
- Sewa Kepompong Ambeua – Hoga 100.000/nego
- One way antar dengan kepompong ke Hoga 20.000
- Akomodasi semalam, 2x makan, 1x snack 50.000
- Ojek keliling Wanci 50.000/nego
- Makan agak mewah di Wanci 27.000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar